Liputan6.com, Yogyakarta Guru Besar Fakultas Pertanian UGM sebagai pemerhati pangan dan komunikasi pertanian Subejo memberikan pandangannya tentang penghapusan kuota impor yang menurutnya sangat berisiko jika diterapkan. Karena, awalnya pemerintah akan menghentikan impor pangan untuk meningkatkan swasembada pangan dan meningkatkan kesejahteraan petani.
“Impor yang awalnya sudah diatur kuotanya kemudian diubah, saya rasa akan berisiko sebab kalau di satu sisi dapat memberikan kompetisi bagi produk-produk asing untuk masuk ke pasar Indonesia, tetapi juga pastinya akan berkompetisi dengan produk lokal,” kata Subejo, Rabu (16/4/2025).
Subejo menyatakan bahwa produk lokal dengan tarif harga yang lebih tinggi daripada produk asing tidak akan bisa bersaing di pasar. Memang, perlu adanya kompetisi supaya produk dalam negeri memiliki daya saing, tetapi regulasi yang melindungi produk lokal tetap diperlukan. Contohnya seperti di Jepang yang melindungi beras lokal dengan memperketat beras-beras impor yang masuk ke Jepang. “Saya kira belajar dari pengalaman itu dengan serta-merta membuka keran impor atau keran ekspor bagi negara mitra kita juga bukan kebijakan yang mungkin pilihannya tidak harus itu,” ujarnya soal penghapusan kuota impor.
Advertisement
Saran Subejo agar kuota impor tetap dipikirkan, selagi meningkatkan sistem tata niaga yang perlu dievaluasi agar kuota-kuota ini tidak hanya dikuasai importir saja. Ia mengingatkan jika tujuan utama kuota impor adalah supaya menyeimbangkan kekurangan pasokan produksi dalam negeri atau mendatangkan bahan yang tidak dapat diproduksi oleh lokal. Namun kalau semua produk masuk dengan bebas tanpa regulasi, maka kondisi ekonomi Indonesia dapat kolaps.
“Contohnya beras, kalau ini tidak diatur komoditasnya, beras Thailand lebih murah Rp1.000,00 dari pada beras Indonesia pasti konsumen kita memilih apapun yang lebih murah, tidak peduli asalnya. Hal ini juga sebab kita belum bisa ditumbuhkan nasionalisme terhadap produk lokal,” ujar Subejo.
Ia mengatakan adanya impor komoditas lain yang tidak dapat diproduksi Indonesia seperti gandum justru bisa menjadi peluang. Nantinya justru akan menjadi kompetisi bagi negara-negara yang masuk dan menawarkan harga yang lebih murah dan ini akan menguntungkan bagi produksi dalam negeri.
Sehingga kebijakan mengenai impor ini bisa disesuaikan dengan komoditasnya, apakah komoditas tersebut dibutuhkan untuk memenuhi kekurangan yang ada dari produksi lokal atau komoditas yang memang tidak dapat diproduksi di Indonesia. Namun terlepas dari permasalahan impor yang terjadi, ia mengingatkan pentingnya untuk memproteksi petani dan komoditas yang diproduksi.
Subejo menilai penetapan harga pokok pembelian belum efektif pelaksanaannya di lapangan. Kebijakan yang bisa dilakukan untuk hasil pertanian juga dapat ditempuh dengan hilirisasi, contohnya hilirisasi produk pertanian relatif tidak berhasil dengan harganya yang rendah dan jika tidak diolah, maka akan membusuk begitu saja. “Saya membayangkan kalau pemerintah mendorong atau memfasilitasi investasi hilirisasi seperti membangun pabrik saus, pabrik pengeringan cabai sehingga jika terjadi oversupply produk bisa dihilirkan dan diindustrikan,” tambahnya.
Subejo mengatakan sebelum mengambil kebijakan penghapusan kuota impor, pemerintah RI sebaiknya melakukan kajian yang mendalam mengenai produk apa saja dan bagaimana impor yang akan dilakukan. “Dalam resiprokal ini memang harus dipikirkan secara matang mana produk-produk yang memang bisa dibuka dan yang justru harus diproteksi. Pasti prosesnya akan sangat panjang sehingga kebijakannya juga harus bertahap. Jangan sampai ide yang baik malah menghancurkan pertanian nasional,” ujarnya.